Aku mengenalnya di grup LINE mantan pengguna Multiply yang entah kenapa seperti berbagi rasa yang sama di sana. Rasa kangen terhadap Multiply. Salah satu media sosial yang mengantarkanku untuk ‘berkelana’, mengenal beberapa orang yang berikutnya menyentuh sisi-sisi kehidupanku dan mereka tak pernah sama lagi.
Aku tak ingat mengenalnya di Multiply. Jadi, pertemuan di grup tersebut adalah kenanganku yang pertama tentangnya.
Sebagai grup yang dihuni orang yang senang membaca (dan menulis), sulit untuk terkesan adalah ciri masing-masing; aroma kompetisi sangat erat di antara kami. Satu kisah akan ditimpali dengan kisah lain. Satu pendapat akan dijawab dengan teori yang baru. Satu guyon akan berakhir pada perdebatan sengit. Meski sudah saling kenal, setiap pembicara akan menghabiskan sebagian besar kalimatnya untuk menggiring pembicaraan pada dirinya sendiri.
This is my story. With you all revolving around it.
Not with this particular guy.
He struck me with his nonsense attitude. Play along with all jokes but doesn’t seem to mind it more than a couple of minutes.
Then we talk.
*
Lalu kami berteman dan postingan ini selesai, haha.
Entah kenapa mata ini pedas sekali (ini jam 5.38 pagi) dan rasanya pasti enak sekali jika dibawa tidur. Aku sedang mendengarkan petikan gitar Tohpati, yang sepertinya memudahkanku untuk menulis. Seperti halnya kemarin. Semoga hari ini juga sama.
Baiklah, kembali ke persoalan. Tulisan ini didedikasikan untuk Riswan, seseorang yang punya banyak alias bahkan aku sempat tak yakin siapa nama sebenarnya sampai beberapa waktu yang lalu. Kita akan membahas tulisannya.
Koreksi: beberapa tulisannya.
Karena satu tulisan saja tidak akan pernah cukup, dan itu adalah alasanku menamai postingan ini enigma.
Bukan berarti tulisan Riswan akan terasa seperti candu; sebaliknya, bisa saja akan mengusirmu pada kali pertama.
Riswan tak menulis untuk orang lain.
As written above, he gives no particular interest to impress anybody; dan itu tergambar di tulisannya. Meski jika kita sudah beberapa kali membaca, akan ditemukan pola di dalam tulisan Riswan. Ini pendapatku, bisa saja kita berbeda.
- Rindu
Riswan adalah perindu sejati. Baginya, itu adalah rokok yang dia isap setiap hari. Dia hidup dengannya. Mati karenanya. Di beberapa tulisannya, dia terlihat sangat rindu. Di beberapa yang lain, dia berusaha membuang rasa tersebut. Aku akan memberikan contoh, misal pada Angin, [di]lupa[kan], atau Biru, Hijau, Jingga.
Kerinduan membuat seseorang bertahan. Tapi tidak bagi Riswan, setelah mengenalnya beberapa tahun terakhir, lahirnya tulisan Riswan menandakan dia sedang tak bahagia (menurutku) dan sebagai teman, aku beberapa kali menanyakan perihal ini.
Bagi Riswan, semua hal layak untuk dirindukan.
Hatinya terlalu luas untuk menyimpan kenangan.
Waktunya yang tak cukup untuk menghampar bahagia dan menyampir getir.
- Kebohongan
Semula aku akan menempatkan poin ini di nomor terakhir, namun kupikir ini harusnya bersambung pada poin pertama. Kebohongan yang kumaksud adalah jawaban-jawaban yang Riswan berikan pada tiap kisahnya. Tak seperti aku yang meluahkan isi kepala di atas kertas (terkadang) untuk menyampaikan rasa yang sebenarnya ada; Riswan sebenarnya juga demikian, namun dia tak akan pernah menyampaikannya tanpa balutan. Selapis. Sepuluh lapis. Terkadang semua hanya belitan dusta yang membuat pembaca bertanya-tanya.
Ada apa?
Seperti biasa, Riswan akan memberikan jawaban terbaiknya.
Kebohongan. Â
- A better man
Setidaknya aku sedang membuka delapan tab khusus tulisan Riswan, memastikan poin ini tak salah. Silakan cek di:
Kometas: seorang laki-laki berbaju dan bercelana hitam lusuh…
Segelas Besar Teh Dingin: seorang tamu kedai baru datang, laki-laki berbaju dan bercelana hitam
Naharabul Anggiteg: namanya Warane. Pemandu yang menemaniku menjelajah kawasan Teluk Cendrawasih.
Benang Merah yang Mengikat Kami: ... di jalan yang semakin menanjak, saya bertemu dengan seorang ibu tua pengangkut kayu bakar…
Waskita Terakhir: dia seorang tabib beralis kepak elang, tubuhnya lumpuh sebagian, karena cintanya yang tak direstui alam raya.
Sebotol Anggur dan Dua Gelas Berkaki: … tepat mengarah ke jantungmu. Jantung keparat yang telah merenggut satu-satunya hal berharga yang kumiliki.
Serta di beberapa kisah lain, silakan dibaca, dia tak sering mengupdate blognya yang sunyi ini.
Riswan mengenang seseorang di masa lalu, sekarang, dan nanti sebagai seseorang yang lebih baik. Baginya, itu seperti memberi harapan (atau penegasan kenyataan?) bahwa dirinya bisa mencapai titik itu suatu saat: menjadi lebih baik.
Sebagai manusia, anak, pasangan, teman, apapun.
Sebagai penulis, jejak seperti ini adalah kejujuran yang jarang. Mungkin, karena Riswan seringkali tak menulis untuk orang lain, apapun yang dia bikin, akan menggambarkan hasratnya yang paling dalam: laki-laki (manusia) yang lebih baik.
- Keluarga
Seperti yang kusampaikan di atas, terlepas dari keegoisan masing-masing anggota grup, Riswan adalah orang yang paling mendengarkan. Dia ada saat kita bercerita. Menimpali dengan tak berlebihan. Bisa mengingatnya kembali saat kita mengoreknya.
Saat itu, kupikir itu adalah salah satu kelebihannya yang luar biasa. Tak banyak orang yang bisa melakukan hal itu, dan dia seharusnya jadi anggota keluarga bagi siapapun.
Sampai aku menyadari bahwa tidak demikian adanya.
Riswan melepaskan ikatan satu demi satu sampai luruh benang yang menyelimuti jiwanya.
Dan itu tergambar di tulisannya: perpisahan, kematian, pertemuan yang tak jadi, kasih tak sampai, racauan.
Riswan punya batu besar yang harus dia loncati untuk menyeberang ke sisi yang dia inginkan.
Atau keluarganya inginkan.
Pertanyaannya, akankah dia melakukannya?
Berdasarkan tulisan-tulisannya, menurutku tidak.
Tapi aku bisa saja salah. Dan jika itu terjadi, maka kupastikan poin ini akan segera hilang di tulisan Riswan. Kita tunggu saja.
*
Terlepas dari poin-poin yang telah kusampaikan, aku ingin mengomentari gaya penulisan Riswan di beberapa cerpen (dan puisi?), meski batasnya samar antara postingan blog perjalanan yang kerap diselipkan dengan kisah-kisah (nyata atau reka?).
Riswan jelas penulis yang berbakat; aku kenal seseorang yang menulis dengan kerja keras, menyusun kalimat demi kalimat, menyuntingnya satu demi satu, memastikan dia sedang tak membuang banyak energi (dirinya dan pembaca) jika nanti tulisan itu terbit. Riswan tak demikian, kebanyakan tulisannya adalah tulisan satu kali duduk alias langsung jadi. Dia tak menyuntingnya. Tak banyak memperbaiki.
Titik terakhir. Selamat tinggal.
Bagiku, penulis seperti ini punya beban mental yang tinggi karena kebosanan mereka cepat sekali datang. Seandainya Riswan bisa mengatasi masalah kebosanannya, dia akan jadi salah satu penulis yang baik. Jauh melebihi penulis kisah-kisah rekaan di bangku sekolahan. Ataupun penyair-penyair masa kini yang memanggil susunan kalimat rata kanan kirinya sebagai puisi.
Seharusnya Riswan tahu diri.
Lewat tulisan ini, aku meminta Riswan untuk ‘melukai’ hatinya lebih sering. Dan menulis lebih banyak lagi.
Aku (dan pembaca lainnya) layak mendapat tulisan yang baik.
Demikian.
Selamat pagi.
.
.
Hujan sedang turun di Jayapura.Â
Rabu, dan titik air jatuh dari kerumunan atas angin kelabu.Â