Senyum Terbawa Angin

BQiKbDoCQAAXcTn.jpg medium

Aku menghitung barisan kepala yang berjejer antri di depanku. Sepuluh. Aku mengumpat di dalam hati, melirik jam di pergelangan tangan. Sudah pasti akan terlambat. Aku hampir mengurungkan niat untuk ikut mengantri ketika handphoneku berbunyi.

“Hallo?”

“Rapat ditunda, boss is angry. You better buy something good,” desis Depe di telingaku.

Fuck. Aku menutup handphone dengan gusar. Membuang nafas dari mulut. Kepalaku masih berdenyut-denyut sisa begadang semalam.

Adriana, saudara kembar perempuanku mengirimkan thesisnya tadi malam, memintaku untuk mengeditnya. Bisakah kau mengatakan tidak pada seseorang yang notabene adalah dirimu sendiri, hanya saja ia memiliki payudara dan vagina? Serta tentu saja beberapa detil kecil berbeda yang lain.

You have good eyes. Always. Please help me.” Suaranya bagaikan rengekan balita saat menelepon. Ia menjelaskan secara garis besar isi thesisnya, meyakinkan bahwa aku hanya akan memastikan tidak ada penulisan yang salah, jikapun ada, itu haruslah sesuatu yang tidak terlalu penting agar ia tidak terlihat bodoh saat mengajukan thesis tersebut.

Yang tidak ia sampaikan adalah betapa panjangnya tulisan itu. Berpuluh-puluh halaman. Ditambah kenyataan bahwa kebanyakan darinya adalah hasil copy-paste dari beberapa sumber yang hanya Tuhan dan Adriana yang tahu, aku menelan ludah saat menyadari bahwa besar kemungkinan aku akan tidak tidur semalaman.

Aku tidur tepat ketika azan subuh berkumandang.

Satu jam yang lalu Depe meneleponku, “Aku harus lewat jalan lain, ada titipan boss yang belum kubeli tadi malam. Bisakah kau yang membelikan kopinya pagi ini?”

Kopi?

Aku bisa bertanding trivia tentang kopi melawan anak SD dan kalah telak. Begitulah. Aku beruntung tidak pernah menyukai kopi karena belakangan ini kopi menurutku semakin rumit saja untuk diminum. Nama-nama mereka juga semakin panjang dan sulit.

Aku mengecek handphone, membuka sms yang dikirim Depe tentang kopi yang biasa diminum boss. Komat-kamit menghafalkannya. Keningku berkerut. Depe mengirimkan lebih dari satu nama minuman.

Shit. How am I supposed to know which one is better today? Aku bergegas menelepon Depe.

Tidak diangkat.

Aku mengumpat dengan lebih jelas. Lebih kasar. Kepala di depanku berputar.

Shit. I just cursed in front of an angel.

*****

Thank you very much for today.” Depe menepuk punggungku. Aku mengangguk pelan, mengemasi mejaku.

“Hei, kau ingin minum sesuatu setelah ini?”

Aku menggeleng padanya. “I’m sleepy.”

You should drink some coffee.”

Aku terbahak. Setengah mengejarnya yang sudah berbelok masuk ke dalam elevator. Depe menahannya untukku. “Thanks.”

“Jadi bagaimana bisa kau menebak favoritnya hari ini?”

Aku sempat terdiam beberapa detik sebelum menyadari Depe membicarakan pilihan kopiku pagi ini. Aku menggeleng. “Seseorang di sana yang memilihkannya untukku.”

“Oh ya?”

“Aku bilang sedang butuh sesuatu yang kuat untuk seseorang yang kuat. Tapi juga perlu untuk melunakkan hati seseorang yang kuat tersebut.”

Depe mengerutkan kening. “Dan seseorang itu mengerti?”

She said i need a husband.

A what?!

Aku tertawa, lebih karena mengingat kejadian tadi pagi. “A husband,” kemudian berdehem pelan, “ia bilang aku butuh kopi yang bisa membuat seorang wanita merasa telah memiliki seorang suami meskipun belum menikah. Atau merasa didampingi oleh suami meskipun tidak bekerja di tempat yang sama. Aku butuh kopi yang bisa membuat orang yang meminumnya merasa terlindungi, tapi tidak lantas terlihat lemah.”

Depe terlihat terkesan. “Aku tidak tahu ada pelayan yang bisa bicara seperti itu.”

She’s not a waitress. Ia kebetulan antri di depanku.”

Depe menunjukkan ekspresi paham. “Cantik?”

Tanpa bisa kutahan wajahku memanas.”Huh?”

“Kau berbinar-binar saat membicarakannya.”

Aku sampai tidak tahu harus berkata apa. Beruntung kemudian pintu elevator membuka dan kami sudah sampai di lantai dasar.

Have a nice weekend then,” Depe melambaikan tangannya padaku. Aku mengangguk pelan padanya.

“Kau juga.”

*****

Aku tidak langsung pulang ke rumah. Satu blok sebelum jalan ke rumah, aku berbelok dan memasuki taman.

Senja mulai turun dan taman ramai dengan orang-orang yang ingin memulai akhir pekannya lebih awal. Beberapa kali aku disalip oleh pasangan paruh baya yang sedang jalan kaki sambil membicarakan makan malam mereka nanti. Di tengah taman aku bisa melihat segerombolan anak-anak bermain saling panjat di atas miniatur bola dunia yang berputar pelan. Sekelompok ibu-ibu, kemungkinan orang tua mereka, duduk dengan wajah santai di kursi-kursi yang berada dekat dengan kelompok anak tersebut. Sisanya tercerai berai secara acak di sekitar peralatan bermain lain; ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, apalah. Aku mengerutkan kening, mencoba mengingat terakhir kali aku memainkan benda-benda itu. Gagal total.

Aku merapatkan jaket yang kukenakan. Ternyata turun gerimis. Hanya saja melihat langit yang begitu cerah, sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kuseka kacamataku yang sempat menjadi buram.

You came.”

Aku berbalik mencari asal suara. Kemudian tersenyum. “Hai.”

Wanita itu masih berdiri sepuluh meter di depanku namun aku bisa merasakan jantungku berdetak tak menentu.

Ia kemudian berjalan mendekat.

Ia persis seperti yang kuingat.

So how’s your day?

Kami berjalan pelan beriringan, mengitari kolam yang ditumbuhi teratai-teratai besar yang bunganya mulai kuncup. Aku sering berfikir mereka sengaja menanam bunga sejenis itu agar tidak harus sering membersihkan air kolam, tumbuhan seperti teratai bisa membuat air yang kotor terlihat jernih. Kita cenderung melihat sesuatu yang indah lalu mengabaikan sekelilingnya yang mungkin jauh lebih buruk. Meski aku tidak tahu pasti apa air kolam ini benar-benar jelek. Jika teratai bisa tumbuh, seharusnya tidak terlalu jelek.

“Baik. Semuanya berjalan lancar. Terimakasih untuk saranmu.”

Wanita itu berpaling padaku, beberapa helai rambutnya jatuh dan ia menyelipkannya di belakang telinga. “Saran?”

Coffee.

“Oh,” ia tersipu. “aku senang jika bisa membantu.”

Aku menunjuk bangku yang kosong. Kami lalu duduk. Ia meletakkan tas di antara kami berdua. Ia lalu menunjuk pada kolam yang terbentang di depan.

“Kau pernah masuk ke dalamnya?”

What?

Ia seperti menyadari kekagetanku. Karena sesudahnya ia tertawa. “Aku selalu ingin tahu seberapa dalam kolam ini sebenarnya.”

Aku memperhatikannya tertawa. Tawanya lembut sekali. Seperti terbawa angin. Lalu datang lagi dan menyapu wajahmu dengan halus.

“Kau ingin aku masuk ke dalamnya?”

Ia kembali tertawa. Kemudian menggeleng. “Akan lebih mudah jika kita mencari galah dan mengukurnya daripada harus masuk langsung ke dalamnya.”

Wajahku memanas. Aku pasti bertingkah bodoh sekali.

“Kau sering datang kesini?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Bisa kulihat ia mengangguk. “Hampir setiap hari.”

“Oh ya?”

“Di sana,” wanita itu menunjuk ke arah kiriku. Aku tak melihat apa-apa, namun ia kemudian berkata, “ada tempat duduk yang nyaman sekali. Aku biasa di sana. Duduk dan menulis. Kadang sampai seharian.”

“Kau menulis?”

“Kadang membaca,” ia memalingkan wajah, menatapku lekat, “kau terlihat pucat. Dan mengantuk,” perhatiannya yang detil membuatku kembali merasa gugup.

Aku kemudian menceritakan tentang Adriana. Dan thesis terkutuknya yang membuatku hanya tidur satu jam tadi malam. Wanita itu mendengarkan dengan antusias.

“Kau punya saudara kembar? Ah… apakah menyenangkan?”

Aku gelagapan.

Adriana tidak bisa dibilang menyenangkan. Kenyataan bahwa ia adalah saudaramu semakin menyulitkan. Banyak yang mengatakan bahwa ikatan antara saudara kembar adalah salah satu ikatan yang paling misterius di muka bumi ini setelah ibu kandung dan anaknya. Aku dan Adriana juga begitu. Aku sampai lelah setiap kali diceritakan bagaimana dulu ketika kecil, saat Adriana sakit, maka aku akan ikut jatuh sakit. Adriana begini, aku begitu. Aku melakukan ini, Adriana melakukan itu.

Tapi tentu saja aku tidak bisa memungkiri bahwa Adriana merupakan orang yang paling mudah menyentuh hatiku. Sebagaimana dirimu sendiri, kau tahu bahwa kau senang sesuatu dan kemungkinan besar akan membencinya seminggu lagi. Atau sebaliknya. Adriana expert dalam hal ini. Aku jadi kepikiran untuk meneleponnya setelah ini.

“Aku sudah lama tidak bertemu dengannya.”

Wanita itu terdiam. “Kau tidak menjawabnya,” kemudian ia tersenyum.

Aku ikut tersenyum. “Kadang menyenangkan.”

Wanita itu tertawa mendengar jawabanku.

“Aku masih memikirkan pilihan kopimu pagi ini.”

Wanita itu memalingkan wajahnya. Sesaat aku merasa sangat mengenalnya. Matanya seakan menyampaikan masa lalu yang ingin aku menjelajahinya.

A husband?

Aku tertawa. Pertama pelan namun kemudian aku merasa ingin tertawa lepas. Mengangguk.

“Semula aku pikir kau salah mengatakannya. Atau aku yang salah dengar. Kuharap orang-orang di sana tidak salah mengerti tentangku,” aku bicara terbata-bata.

Wanita itu mengangguk. “Jangan berpikir terlalu keras.”

Aku mengernyit.

Ia tersenyum. “It’s just a lucky guess,” ia kemudian tersenyum lebih lebar. “I guess.”

Handphoneku berbunyi. Adriana.

*****

“Aku sudah menerima emailmu.”

Aku mengangguk tak sabar, meski tentu saja tak berguna karena Adriana tak bisa melihatnya.

“Aku mungkin akan mengirim revisinya dalam tiga hari ini. Kuharap kau kembali membantuku.” Kali ini ia tidak terdengar merengek. Lebih kepada perintah. Ia tahu benar aku sudah terperangkap. Melihatnya melakukan begitu banyak kesalahan dalam menuliskan thesis lalu membiarkannya tidak mungkin jadi pilihan yang akan kulakukan.

Licik sekali.

Aku mondar-mandir mendengarkan Adriana. Mataku menangkap wanita itu mengemasi tasnya.

“Bisakah kau bicara lebih cepat?”

Adriana terdengar tersinggung. Kemudian ia bertanya. “Kau sedang bersama seseorang?”

Oh please.

“Adrian! You met someone? You should’ve told me!

Aku setengah berbisik menceritakan situasinya. Kulihat wanita itu berdiri dan memandang ke arahku.

“Aku harus segera pergi. Kuhubungi kau lagi nanti.”

She has a ring.

Keningku berkerut. Adriana menutup teleponnya. Aku mengumpat dengan gusar.

Setengah berlari aku mendekatinya. Wanita itu sudah siap untuk pergi.

“Sudah senja sekali. Aku harus pulang.”

“Kau pulang kemana? Aku akan mengantarmu.”

Wanita itu menggeleng. “Terimakasih.”

“Seseorang menjemputmu?”

Aku menanyakan pertanyaan itu sebagai basa-basi. Sampai kemudian kenyataan itu menghantamku. “Seseorang menjemputmu?” aku mengulangi pertanyaanku, tentu dengan nada yang lebih pasrah.

Ia mengangguk.

“Aku senang mengobrol denganmu. We should meet again sometimes.”

Ada yang salah. Tapi aku tak bisa menemukannya.

Sampai kemudian seorang anak kecil, persis yang kulihat saat pertama kali masuk ke taman mendekat. Juga seorang pria.

Lalu semuanya jelas. The ring, Adrian.

***** selesai *****

Originally this story was entitled “Perjumpaan”. I still save it with its original name. I think I need to re-name it on blog just to make you more curious. Stupid head. 😉 And that Bomer pic taken because it’s the first I got when searching on net. Don’t ask more than that. LOL.

Leave a comment