Maaf, Membuatmu Datang Malam Ini

23_rf244067couple-holding-hands-posters1Mia mematikan laptop dan menutup buku di depannya dengan perasaan lelah. Diliriknya jam tangan. Lewat lima belas menit dari tengah malam. Terdengar suara ketukan kaca. Mia membalikkan badan, dilihatnya residen Hana — residen adalah istilah yang digunakan untuk dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi —, sedang menjulurkan kepala dari balik pintu.  “Kau akan ke tempat Lily?”

“Oh.” Mia kemudian bangkit dan menarik jas putihnya yang tersampir di sandaran kursi. “Aku belum memutuskan.”

Hana mengangkat sebelah alisnya, membuat Mia tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku tidak pergi.”

“Ayolah. Aku tahu kau sudah menyelesaikan laporan kasusmu. Kenapa tidak pergi?”

Mia lagi-lagi hanya tersenyum, setelah menyampirkan jas putih tadi di belakang pintu dan menukarnya dengan jaket berleher tinggi yang ia rasa pas sekali di malam bercuaca dingin ini, ia kemudian mengajak Hana melangkah keluar ruangan. “Entahlah, sedari siang aku terbayang duduk di sofa dan minum coklat hangat sebelum tidur.”

Mereka berjalan bersisian menembus lorong-lorong di penuhi brankar berisi pasien yang didorong oleh kurir, beberapa di antara mereka sempat melempar senyum saat berpapasan namun tak sedikit yang hanya memberikan wajah datar penuh kelelahan khas rumah sakit pusat rujukan. Mereka kemudian melewati ruangan setengah lingkaran dengan dinding-dinding kaca penuh tempelan kertas pengumuman di mana di dalamnya beberapa perawat shift malam sedang memeriksa catatan pasien, salah seorang dari mereka keluar dari bilik itu dengan tergesa dan memanggil. Mia mendekatinya, mengenalinya sebagai perawat yang biasa ia jumpai saat visite — kegiatan memeriksa pasien rawat inap, di ruangan perinatologi, ruangan khusus bayi.

“Tadi ada yang mencari dokter.”

“Siapa?”

Hana ikut mendekat. “Ada apa?”

Perawat itu menggeleng. “Dia menunggu di luar setelah saya katakan bahwa dokter akan selesai sebentar lagi.”

“Keluarga pasien?”

“Saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Sepertinya bukan.”

“Pria?”

Perawat itu mengangguk.

Mia mengerutkan kening. Mengingat-ingat. Hana menggamitnya. “Kita lihat siapa yang menunggumu lalu kita ke tempat Lily, okay?”

Mia memberengut.

“Kita di sana tidak akan lebih dari satu jam. Aku janji.” Hana kemudian mempercepat langkahnya. “Aku benar-benar ingin melewati semester ini secepat mungkin. Rasanya aku bisa gila.”

Mia hanya tertawa mendengarnya. Ya, semester ini benar-benar melelahkan. Ia membenarkannya dalam hati.

“Kau tahu Yoda, junior semester dua? Tingkahnya benar-benar menyebalkan. Aku sama sekali bukan senior gila hormat tapi kurasa anak itu benar-benar tidak tahu adat. Satu kali lagi kudapati ia bersikap seperti kemarin, akan kuhabisi ia saat laporan jaga.”

“Memang menyebalkan. Tapi dia lumayan.” Mia cepat-cepat menambahkan kalimatnya.

“Justru itu. Kurasa dia lumayan karena dia bisa mendapat kuliah ekstra dari ibunya. Aku pernah mengintip isi catatannya, penuh dengan tips-tips jitu. Sialan. Ingin aku memilikinya.”

Mia tergelak. Separuh karena menyadari betapa ambigunya kalimat Hana barusan, separuh lagi karena faktanya ibu dari junior Yoda yang baru mereka bicarakan adalah memang salah satu profesor yang paling disegani di kampusnya. “Oh, sial. Kautunggu di sini sebentar. Buku catatanku ketinggalan di ruangan.”

Hana mendecak kesal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Setengah berlari Mia meninggalkannya.

*****

 

Sebelum Mia berhasil sampai ke ruangan jaga residen, seorang perawat kembali menghampirinya, memberikannya beberapa lembar status pasien rawat inap yang ternyata belum selesai ia lengkapi.

“Oh!” Mia setengah mengumpat dan bersyukur, kelalaian seperti ini bisa saja membuatnya layak digantung esok hari. Dikerjakannya status itu sambil berdiri di gang, diawasi perawat yang hanya menggeleng-geleng maklum. Setelah yakin tidak melewatkan detail-detail penting, ia bergegas pergi ke ruangan, setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih pada perawat yang mencegatnya tadi.

Ruangan tampak gelap, Mia mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dengan tergesa. Lampu otomatis menyala setelah pintu membuka.

“Kau akan ke rumah Lily kan?”

Mia terkesiap, lalu berbalik. Agus, salah satu residen bedah anak, yang menyapanya. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Kau akan pergi sendirian? Kita bisa pergi bersama, aku baru saja selesai.” Sosok tinggi itu mendekat. Mia bisa mencium parfumnya yang khas, para perawat sering membicarakan pria di depannya ini karenanya, mereka menjulukinya residen bau surga.

“Aku bersama Hana, ia sedang menunggu di lobby.” Mia memaksa untuk tersenyum. Buru-buru ia membuka laci dan benar saja, buku catatannya ada di sana. “Aku duluan.”

“Hei.” Agus mengitari meja dan mensejajari langkahnya. “Kau tidak sedang menghindariku kan?”

Mia mengibaskan jemarinya yang dilingkari cincin.

Agus tertawa pelan. Memperlihatkan deretan giginya yang bagus. “Kau tahu itu tidak akan mengubah perasaanku padamu.”

“Katakan padaku apa yang akan mengubahnya.”

“Katakan padaku apa yang harus kulakukan agar kau menerimaku.”

Mia membenarkan letak tas di bahunya. Berdehem kecil. “Agus, kurasa kita sudah membahas ini. Aku sudah menikah.” Ia menekankan setiap kata pada kalimat terakhirnya.

“Tapi kita memiliki waktu yang menyenangkan. Jangan katakan kau tidak senang saat kita bersama.”

Mia menggeleng. “Jangan membuatku makin tidak nyaman. Aku sudah merasa tidak nyaman. Kita tidak pernah bersama. Kau dan aku pernah makan malam satu kali dan maafkan aku, itu adalah kesalahan. Aku tidak semestinya melakukannya.”

“Tapi kita melakukannya.”

“Itu adalah kesalahan.”

Agus menatap lurus pada Mia. Ia terlihat menggaruk dagunya yang berbintik-bintik halus, “Katakan di mana kurangku.”

“Kau benar-benar keras kepala.”

Agus memamerkan senyumnya yang menawan. “Mia, aku benar-benar ingin bersamamu. Memiliki perasaan sekuat ini padamu membuatku hampir gila.”

“Katakan jika kau sudah merasakan gejalanya, aku bisa membuatkan resep yang baik.” Mia memaksakan tersenyum dan berlalu. Saat melewatinya, Agus menarik tangannya dan menggenggamnya.

“Maafkan sikapku. Tapi jika kau akan berpisah dari suamimu — dan kau tahu aku selalu berdoa untuk itu — aku akan berusaha keras untuk membahagiakanmu.” Agus menatap matanya dan sejenak Mia bisa merasakan lututnya melemah. Ia menggeleng pelan dan meminta Agus melepaskan tangannya.

“Aku ingin kau tetap sopan padaku.” Mia berdehem kecil. “Seperti aku yang akan tetap sopan padamu, selama kau berjanji untuk tidak seperti ini lagi.”

Agus mengangguk pelan. Wajahnya terlihat menyesal. “Aku minta maaf.”

Mia balas mengangguk pelan sebelum berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat marah.

*****

 

Saat melewati pintu keluar Mia melihat Hana sedang berbincang dengan seseorang. Mungkin mendengar langkah kakinya yang memang terdengar jelas di lantai berbatu ini, kedua orang itu membalikkan badan.

Mia merasa jantungnya seakan meloncat keluar dari rongga dada.

Hana melambai dan tersenyum. “Aku sudah bertemu Imran.” Ia menunjuk sosok di sampingnya.

Pria itu juga tersenyum. Ia kemudian berjalan mendekati Mia yang mematung. Memberinya pelukan. “Hai.”

Masih bau yang sama. Mia menutup mata dan merasakan Imran mempererat dekapannya. Memaksanya membenamkan wajah di lehernya, merasakan rahangnya yang kasar.

Mia juga bisa merasakan tangan Imran di pundaknya. Memberinya tepukan ringan. Lehernya meremang. Segera ia melepaskan diri.

“Kapan kau tiba?”

Imran tersenyum. “Baru saja.”

“Aku dan Hana… kami akan keluar.”

Hana terlihat kaget. “Aku baru saja mengatakan pada Imran bahwa kau pasti senang bisa menemukan alasan untuk tidak jadi pergi.” Wajahnya kemudian terlihat bingung.

“Kau mengatakan bahwa kita hanya akan satu jam. Aku rasa aku bisa kalau hanya satu jam.”

Imran memandangi Mia yang balas menatapnya. Mia berkata, “Jangan melihatku seperti itu.”

Hana jelas terlihat tidak nyaman. “Mia, aku rasa aku akan pergi sendiri.” ia bergegas pergi setelah mengangguk pelan pada Imran. Ia kemudian memberi isyarat pada Mia bahwa ia akan menelepon nanti.

Mia merapatkan jaketnya, melangkah menuruni undakan tangga batu yang melingkar. Pelan dirasakannya lehernya mendingin dan hidungnya sakit, separuh karena udara malam yang memang sudah menusuk, sisanya lebih karena pikirannya yang kacau. Ia bisa melihat dari sudut matanya bahwa Imran melangkah di belakangnya sambil menyeret travel-bag-nya. Beberapa saat kemudian pria itu sudah menyusul langkahnya dan mensejajarinya.

Lama mereka berjalan dalam diam.

Sampai akhirnya Mia membuka suara. “Kapan kau tiba?”

Imran mengangguk pelan. “Baru saja.”

Mia ikut mengangguk-angguk. “Kau sudah mengatakannya tadi.”

Imran mengangguk membenarkan. “Aku sudah mengatakannya.”

Kemudian Mia tergelak. Perlahan tawanya makin keras. Ia berbalik, mendapati wajah seorang pria yang pernah begitu mengisi pikirannya. Menyebalkan sekali, hanya melihatnya beberapa detik dan ia bisa merasakan seluruh rasa itu kembali lagi.

Imran tersenyum. “Kau melupakan sesuatu?”

Mia masih tertawa. Ia kemudian mengangguk.

“Buku catatanmu?”

Mia menggeleng. Tawanya masih tersisa sedikit.

Imran berdiri tegak. Menunggu.

“Mobilku. Aku memarkirnya di halaman belakang. Mestinya tadi kita tidak memutar.”

*****

 

“Aku tidak menyangka kau akan datang malam ini.”

Imran mengangkat wajahnya, menatap Mia. Wajah istrinya itu tampak sedih.

Mereka memutuskan untuk berjalan kaki menuju taman, setelah beberapa saat berkeliling mereka akhirnya menemukan ayunan berupa kursi yang dipasang berhadapan. Jadilah sekarang mereka di sana.

“Aku baru menerima emailmu.”

Mia menggeleng pelan. Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir. Ia kemudian menangkupkan kedua tangannya. “Aku bisa menjelaskan semuanya.”

Imran mengangguk. “Aku memang butuh penjelasan mengapa kau ingin bercerai dariku.”

Mia mengangkat wajahnya. Kemudian menangis lagi.

Imran menarik nafas panjang. Ia merentangkan tangannya di sandaran kursi, dijejakkannya kaki ke tanah, mendorong sedikit, membuat mereka berdua berayun.

Sepi sekali.

Ia bisa melihat kilau bekas tetesan hujan di daun-daun yang tertimpa sinar bulan dan lampu taman. Tanah di bawah sepatunya juga masih lengket. Ia membuat dorongan yang lebih kencang, membuatnya bisa merasakan udara yang basah melewati leher dan wajahnya saat ayunan naik lebih tinggi.

“Kau bisa membuatku muntah.”

Tak ayal lagi ia tertawa.

“Paling tidak kau jadi berhenti menangis.”

Mia mengusap matanya dengan jari. “Oh Imran. Aku benar-benar membencimu.”

Imran menjejakkan kakinya lagi. Kali ini lebih pelan. Ayunan naik dan turun dengan lebih teratur. Biasanya ayunan besi seperti ini akan berbunyi jika diduduki namun mungkin karena sedang basah pada engsel-engselnya, gerakannya kini terasa mulus dan menyenangkan.

“Kau selalu membenciku.”

Mia ikut mendorong dengan kakinya. Sekali waktu kaki mereka bersenggolan dan ia membiarkannya. Mia menendang sepatu suaminya itu pelan-pelan. Melumurinya dengan tanah yang lengket.

“Aku benci karena kau tidak ada.”

Imran mendengus pelan, merapatkan jaketnya. Ia kemudian menyilangkan tangan di depan dadanya, memeluk dirinya sendiri.

“Kita sudah membicarakan ini.”

“Kita belum selesai membicarakan ini.” Mia mengangkat wajah.

Imran mengangguk pelan, ia kemudian seperti akan mengatakan sesuatu, namun batal melakukannya. Lama sekali ia hanya diam dan menatap Mia yang menanti ia membuka suara. Pada akhirnya ketika ia berkata, kalimat ini yang keluar dari mulutnya. “Kita akan membicarakannya lagi.”

Mia menarik nafas panjang. Menyusun kalimat dalam kepalanya.

“Aku harus akui bahwa beberapa minggu terakhir ini, kuliahku benar-benar menyiksa. Semua tugas. Dosen. Teman sekelompok. Junior. Staf rumah sakit. Pasien. Terlebih lagi pasien. Mereka semua membuatku tertekan. Aku pulang ke rumah dan menemukan kau tidak ada. Kau tidak pernah ada. Kau tahu aku selalu ingin bercerita padamu. Jangan memotongku dulu.” Mia menarik selembar tisu dari dalam tasnya. “Aku menyalahkanmu atas semuanya.”

Imran membungkuk dan menarik kedua tangan Mia. Menggenggamnya. Istrinya itu menangis lagi.

“Kau mengatakan akan mendukungku saat aku melanjutkan spesialisasi. Tapi kau malah tidak ada saat semua orang membuatku gila.”

“Mia…”

“Kemudian dua hari yang lalu aku membuat catatan yang panjang sekali. Aku tidak bisa tidur. Aku menatap bantal kosong di sebelahku sepanjang malam. Aku melihatmu hilir mudik di rumah, aku seperti melihatmu hilir mudik di rumah. Menyebalkan sekali. Aku lalu membuat semua alasan untuk tetap bersamamu atau meninggalkanmu. Kau tahu bahwa aku bisa hidup tanpamu dengan baik sebelum ini. Baik sekali bahkan. Kau tahu benar itu.”

“Aku tahu itu.”

Mia menarik ingus dari hidungnya. “Sampai kau masuk dalam hidupku.”

Imran menunggu lanjutan kalimat Mia.

“Bisakah kita berpisah sementara?”

Imran diam. Dirasakannya Mia mencoba menarik tangannya, namun ditahannya. Mia tidak mencoba lebih jauh.

“Kau tahu kita tidak bisa berpisah sementara.”

“Mengapa kita tidak bisa suit saja, untuk memutuskan siapa yang akan mengalah dan tinggal di rumah?”

Imran tertawa pelan. Ia menarik tangan di genggamannya dan membawanya ke depan wajahnya, menciuminya.

“Kau tahu kalau aku tidak bisa meninggalkan tugas saat ini.”

Mia menarik nafas panjang. Tersenyum pelan. “Bagaimana keadaan di sana?”

“Biasa saja. Maksudku, selayaknya daerah bencana. Semua orang berduka. Semua orang tidak bicara. Lalu semua orang bicara. Tidak ada yang benar-benar bisa diceritakan. Sekejap kau merasa mengenal mereka lalu kemudian mungkin kau akan merasa terlempar ke dunia yang benar-benar asing, padahal yang ada di sekitarmu adalah manusia, tapi entah kenapa semua jadi begitu berbeda. Beberapa pasien yang selamat menyembunyikan perasaannya, membisu berhari-hari, menangisi yang tlah pergi. Kurasa kau lebih cocok untuk kesana.”

Mia tertawa. “Mungkin aku akan lebih menikmatinya.”

Imran mengangguk pelan. Kembali mencium tangan istrinya. “Aku akan senang jika bisa bersamamu di sana.”

Mia menatap wajah di hadapannya dengan wajah sedih. Imran masih menciumi tangannya.

“Temanmu tadi, ia tidak tahu kalau aku adalah suamimu.”

Mia tersenyum, ia lalu berkata. “Aku memang tidak memberitahu mereka. Mereka hanya tahu kalau aku telah menikah.”

“Mengapa?”

“Karena aku memiliki suami yang tak pernah ada.”

Imran mengangkat wajah. “Kupikir kita sudah pernah membahasnya.”

Mia mengangguk. “Kita sudah pernah membahasnya.”

Imran menepuk bagian kursi di sebelahnya, meminta Mia pindah. “Ironis sekali bukan? Kita mengurusi orang lain, namun kadang tak sempat mengurusi diri sendiri. Atau keluarga.”

Mia menyandarkan kepalanya di bahu Imran. Mendengarkan.

“Aku benar-benar takut saat menerima emailmu.”

“Aku tidak tahu bagaimana cara membatalkan email yang telah dikirim.”

Imran tertawa, bahunya sampai berguncang. Mia mengangkat wajahnya dan memeluk tubuh di sebelahnya itu erat-erat. Menghirup aromanya lekat-lekat. “Aku minta maaf telah membuatmu datang malam ini.”

“Aku sudah memesan tiket untuk pergi besok. Kau tenang saja.”

Mia kemudian menggigit lengan suaminya itu sampai ia mengaduh kesakitan. Ayunan sampai berguncang.

*****

 

Pintu keluar terbuka dan Agus melewatinya. Ia tampak terkejut saat melihat Mia masih ada. Sesaat ia seperti tersenyum namun kemudian wajahnya berubah saat melihat Imran.

“Kupikir kau bersama Hana.”

“Aku tadi memang bersama Hana.” Mia mengangguk pelan. “Ia baru saja pergi. Kenalkan, ini Imran.”

“Oh.” Agus melangkah maju dan mengulurkan tangan. “Kapan kau tiba?”

Imran menjabat tangan Agus. “Baru saja.”

“Mia beberapa kali bercerita tentangmu. Saat kami, maksudku, kami para dokter berbincang, kadang kami membicarakan keluarga.”

“Oh. Kuharap kau mendengar yang baik-baik saja.” Imran berpaling pada Mia yang bisa merasakan wajahnya panas. “Aku terlalu banyak berbuat tidak baik belakangan.” Ia kemudian merangkul bahu Mia dan menepuknya. “Kita pulang?”

Mia mengangguk, diikutinya langkah Imran menuruni undakan batu yang tampak menghitam karena basah. Kali ini ia tidak mengambil jalan memutar. Dirasakannya dorongan kuat untuk melihat ke belakang. Namun genggaman tangan pria di sampingnya itu membuatnya terus melangkah ke depan.

 

***** selesai *****

Leave a comment