Kalimat ambigu tersebut pasti tak asing bagi pembaca Harry Potter. Versi bahasa Indonesianya adalah ‘aku membuka pada penutup’. Ketika pertama kali tulisan itu muncul, tak ada yang paham maknanya, baik itu Harry, Ron, bahkan Hermione (termasuk saya sendiri), hingga akhir cerita. Tapi begitu kita paham, semuanya jadi terasa jelas, segala rentetan cerita yang semula kabur, seketika cemerlang. Begitu luar biasa bukan, sebuah pemahaman mengubah pola pandang kita?
Siang ini saya kedatangan pasien yang mengeluhkan nyeri tak tertahankan di pinggul dan pahanya. Saya mengenal pasien itu. Semula saya melihatnya saat dia dirawat di bangsal dengan keluhan yang sama (dia diberikan terapi antinyeri secara reguler), lalu kembali mendapatinya saat dia datang ke IGD, lagi-lagi dengan keluhan nyeri.
Kali ini, saya kecewa dengannya, sebab terakhir kali bertemu, saya ingat telah merasa bahagia karena telah ‘berhasil’ menemukan penyebab nyeri berkepanjangan yang dia derita. Alih-alih diagnosis yang ditegakkan selama ini, dia menderita keganasan yang telah menyebar ke tulang. Itu yang menyebabkan sakitnya datang dan pergi sesuka hati.
Saya kecewa karena ternyata pasien tersebut masih belum paham dengan kondisinya. Saya kira dia telah mendapat penjelasan yang cukup hingga bisa ‘mafhum’ akan sakitnya. Ternyata tidak. Setelah saya telusuri, ternyata dia memang belum divonis pasti menderita keganasan. Oleh rumah sakit rujukan yang dia datangi sebelumnya, dia dijadwalkan untuk mendapat pemeriksaan ulang. Dari NOL.
Saya tidak menuliskan blog ini untuk menyalahkan sejawat apalagi pasien. Saya hanya merasa tidak nyaman.
Pasien tersebut, merasakan nyeri luar biasa hebat, dan masih berharap dia dapat sembuh sempurna. Setelah sekian lama dia mendapat pemeriksaan dan pengobatan.
Bagi saya, ada yang salah dengan premis di atas.
Menjadi dokter adalah pekerjaan yang tak menyenangkan, ketika saya kembali menemukan pasien saya dalam kondisi yang lebih buruk. Terlepas dari kesembuhan adalah hak prerogatif Allah, saya percaya bahwa sebagai dokter yang telah diajari sedemikian rupa, punya kewajiban untuk memberikan upaya semaksimal mungkin untuk menolong pasien tersebut.
Termasuk memberikan pengertian.
Entah mengapa, ini yang sering saya tidak dapati.
Terkadang pasiennya yang tidak ingin tahu. Tidak bisa dipungkiri, banyak yang begini, bagi mereka, ketidaktahuan akan penyakitnya menghindarkan dirinya dari ketakutan yang merongrong sepanjang hidup, terutama untuk pasien yang didiagnosis dengan penyakit kronis yang perlu penanganan jangka panjang. Bahkan untuk sekedar tahu nama dan jenis obat yang terakhir kali diminum. Beberapa bahkan memilih berbohong dan mengatakan tidak meminum obat apa pun sebelumnya. Sungguh melelahkan.
Tapi tak sedikit juga sejawat yang tak menjelaskan dengan paripurna. Entah karena alasan terlalu banyak pasien. Terlalu sedikit waktu konsultasi. Atau ketidaktahuan tentang kondisi pasien tersebut. Ini tidak menutup kemungkinan, karena di negara ini, yang bisa memberikan terapi tidak hanya dokter, tapi banyak pihak seperti dukun, mantri, apoteker, bidan, banyak lagi, sehingga kerap, pengobatan yang diberikan tidak dibarengi dengan informasi penyakit yang detail.
Tak perlu detail sebenarnya. Cukup diagnosis. Itu bahkan sudah lebih dari cukup.
Saya menganggap pemeriksaan yang saya lakukan pada pasien tersebut telah cukup untuk menegakkan diagnosis keganasan. Saya mengerti jika mereka sebagai pusat rujukan yang lebih tinggi ingin mengonfirmasi, tapi setidaknya, jangan biarkan pasien dengan diagnosis yang menggantung.
Di depan saya, keluarga pasien bertanya: jika di sini tidak bisa mengatasi keluhan nyerinya secara tuntas, di manakah kami harus berobat?
Tuntas.
Pasien tersebut ingin sembuh.
Pemahaman sedikit saja tentang penyakitnya akan membuat pasien menggantungkan harapannya dengan rasional.
Bukankah itu alasan ada prognosis pada setiap diagnosis? Seburuk apa pun, pasien berhak tahu apa yang bisa mereka dapatkan dengan kondisi medis yang mereka alami.
Karena dengan pemahaman yang benar, bahkan Harry Potter pun pada akhirnya menyerah pada yang namanya ‘kematian’.
Gambar diambil dari sini