Menyerah Bukan Kalah

Federer-Wimbledon-4th-Round-2015I open at the close.

Kalimat ambigu tersebut pasti tak asing bagi pembaca Harry Potter. Versi bahasa Indonesianya adalah ‘aku membuka pada penutup’. Ketika pertama kali tulisan itu muncul, tak ada yang paham maknanya, baik itu Harry, Ron, bahkan Hermione (termasuk saya sendiri), hingga akhir cerita. Tapi begitu kita paham, semuanya jadi terasa jelas, segala rentetan cerita yang semula kabur, seketika cemerlang. Begitu luar biasa bukan, sebuah pemahaman mengubah pola pandang kita?

Siang ini saya kedatangan pasien yang mengeluhkan nyeri tak tertahankan di pinggul dan pahanya. Saya mengenal pasien itu. Semula saya melihatnya saat dia dirawat di bangsal dengan keluhan yang sama (dia diberikan terapi antinyeri secara reguler), lalu kembali mendapatinya saat dia datang ke IGD, lagi-lagi dengan keluhan nyeri.

Kali ini, saya kecewa dengannya, sebab terakhir kali bertemu, saya ingat telah merasa bahagia karena telah ‘berhasil’ menemukan penyebab nyeri berkepanjangan yang dia derita. Alih-alih diagnosis yang ditegakkan selama ini, dia menderita keganasan yang telah menyebar ke tulang. Itu yang menyebabkan sakitnya datang dan pergi sesuka hati.

Saya kecewa karena ternyata pasien tersebut masih belum paham dengan kondisinya. Saya kira dia telah mendapat penjelasan yang cukup hingga bisa ‘mafhum’ akan sakitnya. Ternyata tidak. Setelah saya telusuri, ternyata dia memang belum divonis pasti menderita keganasan. Oleh rumah sakit rujukan yang dia datangi sebelumnya, dia dijadwalkan untuk mendapat pemeriksaan ulang. Dari NOL.

Saya tidak menuliskan blog ini untuk menyalahkan sejawat apalagi pasien. Saya hanya merasa tidak nyaman.

Pasien tersebut, merasakan nyeri luar biasa hebat, dan masih berharap dia dapat sembuh sempurna. Setelah sekian lama dia mendapat pemeriksaan dan pengobatan.

Bagi saya, ada yang salah dengan premis di atas.

Menjadi dokter adalah pekerjaan yang tak menyenangkan, ketika saya kembali menemukan pasien saya dalam kondisi yang lebih buruk. Terlepas dari kesembuhan adalah hak prerogatif Allah, saya percaya bahwa sebagai dokter yang telah diajari sedemikian rupa, punya kewajiban untuk memberikan upaya semaksimal mungkin untuk menolong pasien tersebut.

Termasuk memberikan pengertian.

Entah mengapa, ini yang sering saya tidak dapati.

Terkadang pasiennya yang tidak ingin tahu. Tidak bisa dipungkiri, banyak yang begini, bagi mereka, ketidaktahuan akan penyakitnya menghindarkan dirinya dari ketakutan yang merongrong sepanjang hidup, terutama untuk pasien yang didiagnosis dengan penyakit kronis yang perlu penanganan jangka panjang. Bahkan untuk sekedar tahu nama dan jenis obat yang terakhir kali diminum. Beberapa bahkan memilih berbohong dan mengatakan tidak meminum obat apa pun sebelumnya. Sungguh melelahkan.

Tapi tak sedikit juga sejawat yang tak menjelaskan dengan paripurna. Entah karena alasan terlalu banyak pasien. Terlalu sedikit waktu konsultasi. Atau ketidaktahuan tentang kondisi pasien tersebut. Ini tidak menutup kemungkinan, karena di negara ini, yang bisa memberikan terapi tidak hanya dokter, tapi banyak pihak seperti dukun, mantri, apoteker, bidan, banyak lagi, sehingga kerap, pengobatan yang diberikan tidak dibarengi dengan informasi penyakit yang detail.

Tak perlu detail sebenarnya. Cukup diagnosis. Itu bahkan sudah lebih dari cukup.

Saya menganggap pemeriksaan yang saya lakukan pada pasien tersebut telah cukup untuk menegakkan diagnosis keganasan. Saya mengerti jika mereka sebagai pusat rujukan yang lebih tinggi ingin mengonfirmasi, tapi setidaknya, jangan biarkan pasien dengan diagnosis yang menggantung.

Di depan saya, keluarga pasien bertanya: jika di sini tidak bisa mengatasi keluhan nyerinya secara tuntas, di manakah kami harus berobat?

Tuntas.

Pasien tersebut ingin sembuh.

Pemahaman sedikit saja tentang penyakitnya akan membuat pasien menggantungkan harapannya dengan rasional.

Bukankah itu alasan ada prognosis pada setiap diagnosis? Seburuk apa pun, pasien berhak tahu apa yang bisa mereka dapatkan dengan kondisi medis yang mereka alami.

Karena dengan pemahaman yang benar, bahkan Harry Potter pun pada akhirnya menyerah pada yang namanya ‘kematian’.


Gambar diambil dari sini

Pertemuan di Kereta

image

“Kau paham konsekuensi semua ini, kan?” kalimat terakhir dari penyihir bermata emas itu terngiang-ngiang. “Mengubah masa lalu — sekecil apapun, akan ada balasannya. Mengubah masa depan —, kuharap tekadmu sudah bulat, Nak.”

Aku tak sempat untuk berubah pikiran karena sentakan tongkatnya membuatku seakan tersedot ke dalam pipa pembuangan air yang dulu sering kujelajahi untuk menghabiskan waktu makan siang, alih-alih melatih mantra di kelas sihir yang membosankan.

Bedanya kali ini aku tak berakhir di pinggiran Sungai Ok yang ditumbuhi semak blueberry. Kereta yang melolong serta desis relnya yang khas menyadarkanku bahwa aku telah berpindah tempat. Satu-satunya yang harus kulakukan adalah keluar dari tempat ini tanpa terlihat mencurigakan.

Dari sekian banyak peron pemberhentian penyihir itu mendaratkanku di gerbong yang berterali. Sempurna. Aku mengumpat dan meloloskan diri dengan susah payah. Seorang nenek tua berjenggot membantuku dengan wajah penuh penyesalan. “Kau pasti tersesat, Manis. Tahun berapa asalmu?”

Aku hanya tersenyum lemah, menggumamkan terimakasih yang tak jelas lalu pergi. Astaga, tempat ini cool sekali, pantas saja mereka segera mengenaliku dari tahun lampau. Aku buru-buru ke kamar mandi dan merapikan diri.

Setidaknya gaun biru elektrik ini terlihat lebih natural daripada gumpalan goni yang tadi kukenakan. Kini tinggal mencari wanita itu. Kuputar mesin pencari (mirip dengan peta manusia yang pernah kubaca dalam kelas sejarah) dan menuangkan dua tetes air mata buaya untuk mengaktifkannya (aku menangkap sendiri buayanya tapi kisah itu terlalu panjang untuk kuceritakan). Mesin itu segera melesat tanpa menungguku.

Dibawanya aku ke sudut stasiun dengan jejeran pohon serupa pinus tapi berbuah panjang-panjang berwarna keunguan menjuntai hampir dua meter. Beberapa anak tampak mengisapnya sambil tertawa-tawa, aku tergoda untuk mencobanya jika urusanku sudah selesai.

“Apa yang kau lakukan di sini?” seorang wanita muda menegurku.

Aku segera mengenalinya. Hmm, lumayan, selera berpakaianku tak terlalu buruk.

“Bisa bicara?”

Wanita itu menyelisik rambutnya dengan gugup. Dengan satu lambaian tangan ia mengajakku ke kursi panjang yang banyak tertanam di peron kereta. Lambaian berikutnya membuat batas samar antara kami dan dunia sekitar.

“Apa yang kau lakukan di sini?” ulangnya dengan membelalak.

“Ibu; dia ingin kau menghindari gerbong yang biasa kau tumpangi. Ada pria yang akan jadi suamimu di sana.”

“Ibu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”

“Dia baru saja merenovasi dapurnya di tahunku.”

Wanita itu meringis. “Rasanya aku ingat dapur jelek itu.”

“Fokus.” Aku menepuk lengannya. “Pria itu berambut merah, kau tahu ibu benci rambut merah.”

“Mengingatkannya pada ayah yang pemabuk. Darimana Ibu tahu?”

Aku menggeleng. “Ibu belakangan merawat seekor naga yang sekarat, saat mati hewan itu membisikinya masa depan.”

Wanita itu menghela napas. “Astaga, runyam sekali.” Dia lalu melirik jam tangannya.

“Kereta datang, saranmu akan kupertimbangkan. Sekarang cepat pulang atau kita berdua akan melanggar batas waktu.”

Aku mengangguk cepat dan merasakan sensasi tersedot yang sama, kali ini tanpa suara penyihir tentunya.

Gerbong pendaratanku tak berterali, lebih empuk dan wangi permen. Sayangnya aku jatuh dengan posisi tertelungkup. Sigap aku berbalik dan mendapati seorang anak laki-laki memandangiku takjub. “Kau tampak biru. Tersesat?”

Aku menggeleng pelan dan bergegas keluar, di pintu gerbong aku melirik dan terkesiap. Rambut merah itu.

*****

Kisah ini hanya fiktif belaka, #495kata, ditulis untuk Prompt #109 – Di Stasiun.

Ma-lang-kah Baru

image

Hi, it’s been like… forever, hahaha. I did write in this blog but not for usual stuff like updating news about my life (who am I anyway? *sigh*). But the truth is, writing things in blog actually makes me feel like putting a dot or check point when you’re playing game. It’s like another page is opened and I’m ready to fill it with stories. Or whatever, haha. So whenever I didn’t do that, I felt something is missing. I’m missing it at this moment.

I’m quite busy lately. This is serious. I even tweeted about how right actually one surah in Al Quran, Al-Asr: By time; Indeed, mankind is in loss; Except for those who have believed and done righteous deeds and advised each other to truth and advised each other to patience. Well, I didn’t exactly tweet it, but something like it. I think there is a song about it, singing by Raihan. I bet you knew it as well.

Well, so, what’s loss then?

image

The last time I wrote a blog (not a story, or a poem, or a translation page, or a rambling verses of a song) was on December, 30, for my sister’s birthday. I didn’t write one for the other one’s last February though, I hope she’s not upset with me, lol. I’m kinda busy, she knew it. *wink*

I wrote it when I was in Kendari.

Now I am in Malang. Between that time, I was in Jakarta.

Wow. Slow down.

I can’t.

I mean, finally, for the first time when I was in Jakarta, I met people that I’ve known for like years before now. Now no one can say that they’re not real, lol. But save that story for another blog (yes I promise to write another one even when this one hasn’t completed yet).

image

I want to talk about Malang.

Why Malang?

It seems everyone I know (and met here) asking that question. Well, it’s quite complicated actually. I just moved from Fakfak to Kendari to Jakarta to Malang. For what? School? I wish. But no, so far, what I can give as an answer was: I chose it.

I mean, for like the entire of my life, everything was set for me. From where I study, I live, I work (not this one, though, hahaha). But yes, even when I live in Fakfak, I tend to feel like it was a destiny for me. God brought me here, something like that. It helps me to feel better in some way, but on the other day when I see and read people like me (I mean, in my age) actually doing something that they plan to. It’s like they’re doing it with purpose and they put their mind far away in the future.

Hmmm…?

image

What’s my future? That’s when I started to think that I might do it bit wrong. I mean, I’m not pushing myself enough so far. I was living in a very comfort zone, no pressure, I spent the last three years like it meant to be. But I know it didn’t. I mean, I felt it.

I’m not saying my family is wrong, haha. I mean, it’s nothing to do with them. I love you two. *wink*

It is about something in my head. I need a new environment where I can safely say this is a new day and a new plan.

What’s the plan?

image

To be honest, I don’t know, yet. But I do know something, that if there is one thing aside being a good doctor that I want to be at this moment (it means I want to continue my study, yes, please say Amen!), I want to write again. This time, a serious writing. I am not saying that what I wrote so far is shit or whatever, actually it’s a learning by doing, but I need to set something with my agenda.
And I wish to have my own desk and chair. Something I don’t even bother to have when I spent three years living in Fakfak. I hope I can get it soon. But yeah, fyi, my laptop is broken, my card is taken by my sister, lol (I can’t use the modem, now), one thing leads to another and writing in smartphone just wasn’t my style, I guess. But yeah, I can write with pen and book again. I did it once.

So, I guess this is for now. May we have a good year ahead! ☺

Mengenang Semalam

image

Kisahkan padaku tentang harimu yang habis dibuai derap langkah memburu waktu yang sebenarnya tak pernah cukup menemani tiap-tiap senja yang kau lewatkan termasuk petang ini kala seharusnya kita berjumpa
Apakah aku pantas kecewa
Bukankah cinta dan pengkhianatan adalah bumbu termanis kehidupan?

Aku ingin memelukmu yang lelah dengan penat yang tak lekang oleh usia kita berdua yang menua pelan-pelan dimakan senja
Bahumu dan bahuku bertemu di sela-sela kecup dan peluk yang sempat tertinggal sebelum kau pergi lagi mengejar mimpi yang tak berkesudahan

Kenanglah aku seperti aku mengingat punggungmu yang menjauh
Ingin kugapai dan kusentuh namun terlalu sedih nampaknya kau malam ini
Maka cukuplah kita duduk diam dengan pikiran masing-masing
Aku jelas memikirkanmu
Bisik-bisik helaan napas penuh kisah pun mengalir
Aku terhanyut
Inikah cinta?

Sepanjang malam aku terpejam dengan langit menghiasi mimpi berbintangku
Dengan kita di sana sedang tertawa
Lalu satu persatu jatuh layaknya manusia biasa
Hingga pagi menjelang
Kau datang
Kau menghilang

Malang, 26032016

Radio

“Selamat malam,” penyiar bersuara serak itu memulai acaranya. Ini siaran favoritku. Aku mengencangkan volumenya. Meski harus berhati-hati agar tak membangunkan Mom di lantai atas. Semakin tua pendengarannya justru semakin tajam.

“Pakai earphone-mu. Kita tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kita.”

Aku tersenyum malu. Penyiar itu memang senang begitu, seakan-akan pendengarnya sedang berbincang privat dengannya. Aku pasti melakukannya jika saja earphone-ku tidak disita Mom. Dia bilang aku bisa tuli karena sering menyumbat telinga.

Kupikir Mom yang seharusnya dibelikan earphone. Agar ia tak hobi menguping.

Krieet!

Tuh, langkah kakinya terdengar turun. Anak tangga paling atas memang berisik saat diinjak. Tapi itu jadi penandaku. Aku masuk ke bawah selimut, radio kubawa serta, kututupi bantal untuk membungkam suaranya.

“Apakah kau tidur sendirian?” Penyiarku bertanya. “It’s okay. Calm down…

Embusan dingin menerpa kakiku yang tak sempurna tertutup selimut.

Astaga, Mom sudah membuka pintu kamar.

Aku mengatur napas, berpura-pura tidur. Jika Mom mendengar suara dengkur halus, dia akan meninggalkanku.

“Apakah kau selalu sendirian?” Radioku gemerisik. Lalu siarannya hilang, menyisakan desau halus layaknya angin meniup pepohonan tinggi dan daun-daunnya saling menggesek.

Kurasakan beban berat jatuh perlahan di ujung tempat tidurku, tepat di sebelah kakiku. Astaga, Mom mau apa, sih?

Aku bimbang antara ingin menarik kaki atau konsisten berakting tidur.

Calm… down…

Punggungku meremang.

Suara itu?

Bukan berasal dari radioku.

Dari luar selimut.

Tapi serak sekali.

“Mom…?” suaraku tercekat, yang terdengar hanya desah napasku sendiri.

Kurasakan beban berat itu bergeser. Betisku mati rasa, dingin sekali.

Krieet…!

Sontak beban di atas tempat tidurku menghilang. Samar kudengar langkah kaki mendekat.

Demi Tuhan, kau belum tidur?!”

Aku berbalik dan keluar dari selimut. Mom berkacak pinggang dengan wajah tertekuk. Rambutnya acak-acakan.

“Sudah kukatakan untuk menutup jendela dan pintu kamar jika tidur. Lalu matikan radio brengsek itu, kau membuatku sakit kepala.” Mom bersungut-sungut sambil menutup jendela kamarku. Dia lalu menutup pintu sambil menunjuk, “Segera tidur, atau radio itu kusita.”

Aku tak sanggup berkata-kata.

Jika Mom baru saja masuk, lalu siapa yang tadi duduk di atas tempat tidurku?

Astaga.

Konyol sekali. Aku pasti telah bermimpi. Kutarik selimut dan mematikan radio, menciumnya untuk mengucapkan selamat malam.

Aku yakin sudah hampir tertidur ketika kudengar suara itu.

Kriieet…!

Kelopak mataku sigap membuka.

Mom? Mau apa lagi?

Calm down…” Suara serak itu lagi.

Hampir aku terpekik, buru-buru kumatikan radio. Tapi benda itu sudah mati sejak tadi. Keningku berkerut.

Terdengar desau angin meniup dedaunan pohon di samping jendela kamar.

Aku menarik selimut dan mengeluarkan kepala perlahan. Mengintip.

ASTAGA.

Apa itu yang meringkuk janggal di sudut kamarku?

Aku mengkerut masuk dalam selimut. Jantungku berdentam-dentam memukul dinding dada.

Bunyi gemerisik itu datang lagi. Ya ampun, radioku pasti sudah rusak.

Dan aku ingin kencing.

Demi Tuhan, apa ini mimpi? Menyebalkan sekali.

Kuputuskan menunggu, ini pasti mimpi dan dalam beberapa saat aku akan terbangun.

Lalu kurasakan beban berat jatuh perlahan di atas tempat tidurku.

Klik.

Radioku menyala pelan. Ini gila.

Kuangkat kepala, keluar dari selimut. Kembali mengintip. Syukurlah, tak ada siapapun di sudut kamar.

Karena kini dia duduk di tempat tidur, tepat di ujung kakiku.

Ter-senyum…

*****

Kisah ini hanya fiktif belaka, #500 kata, di luar judul dan catatan kaki. Ditulis untuk Prompt #103: Details in the Fabric. Genre horror. Semoga ini masih masuk kriterianya, haha. 😀 Gambar dari sini

BA-LE-RI-NA

ballet-311217_1280Ibu melirik anak gadis semata wayangnya yang sedang makan, wajahnya tertekuk.

“Kenapa, toh? Nggak enak?”

Dijawab dengan gelengan.

“Terus?”

“Aku lagi sebal. Teman sekelas pada ngeledekin namaku.”

Ibu menghela napas. Tahun ajaran baru selalu begitu.

“Nanti juga mereka berhenti. Seperti sebelumnya.”

Didengarnya suara piring digeser. “Aku nggak mau makan, nanti tambah gembrot.”

Ibu mengeringkan tangannya, lalu ikut duduk. “Kasihan makanannya, tinggal sedikit.”

“Aku mau ganti nama aja. Apa aja asal bukan yang sekarang.”

Kali ini Ibu melihat air mata putrinya sudah hampir tumpah. Maka ia menggeser kursinya mendekat, mengusap rambut anaknya yang langsung tersedu-sedu menangkupkan tangan ke wajahnya.

“Ya sudah, istirahat dulu, ya. Nanti kita bicarakan lagi.”

Dibalas dengan gelengan. Serta hentakan kaki. “Aku malu, Bu. Tiap kali dipanggil mesti ada yang nyuitin, terus pura-pura nari. Kenapa sih namaku begitu amat, Bu?”

Ibu menghela napas. Kalau sudah begini, ia mesti mengulang kisah sedih itu. “Namamu itu pemberian mendiang ayahmu, Nak. Dia itu meski kerjanya tentara, tapi seneng banget sama yang namanya penari balet. Sejak kamu dalam kandungan saja sudah dipilihnya nama untukmu.”

“Apa Ayah ingin aku jadi penari?”

“Ibu nggak tahu. Yang jelas, waktu menamaimu, kami berdua nggak kepikiran akan jadi begini. Maafkan Ibu, ya, Nak. Ibu dan Ayah hanya ingin kamu jadi anak yang ulet, pantang menyerah, tekun, ya seperti penari balet itu. Mereka itu dedikasinya luar biasa, lho.”

“Tapi aku gembrot. Nggak bisa nari.”

“Nanti Ibu bikinin menu yang nggak bikin badanmu tambah melar. Gimana?

Anaknya sontak ceria. “Beneran, Bu? Mau banget!

Ibu menepuk-nepuk punggung anaknya. “Begitu, dong. Sana ganti baju.”

Anak gadisnya bergegas pergi, wajahnya jauh lebih cerah. Baru beberapa langkah ia sudah kembali berbalik. “Berarti Ayah juga punya cadangan nama seandainya aku laki-laki, Bu?”

Ibu mengangguk. “KA-RA-TE-KA.”

Anak gadisnya sontak menjauh menjerit. Tapi kali ini ditingkahi dengan tawa geli.

*** selesai ***

Kisah ini hanya fiktif belaka. 293 kata, di luar judul dan catatan kaki. Ditulis untuk meramaikan Prompt #101 – Sang Balerina. Gambar diambil dari sini

Lost in Translation: Part #3

Meski sebelumnya telah kulihat, latihan 3 ini baru benar-benar kuutak-atik beberapa hari sebelum deadline. Sungguh suatu strategi yang salah, karena memang sedari awal latihan ini sudah jauh lebih berat daripada latihan 2, menurutku. Walhasil, ada satu kalimat yang salah penafsiran (meski dalam pembahasan dijelaskan kalau kalimat tersebut memang cenderung ambigu, mwehehe… #alesan). Tetap masih belum smooth sih menurutku, apalagi latihan 3 ini punya nuansa yang lebih kuat dari latihan sebelumnya, kurasa agak tertekan untuk menciptakan nuansa yang sama, meski dalam terjemahan.

Baik, ini adalah naskah yang harus diterjemahkan:

Will Robie crouched shadowlike at a window in a deserted building, inside a country that was currently an ally of the United States.

Tomorrow that could change.

Robie had been alone in many vacant buildings in foreign lands over the years, tactically positioned at windows while holding a weapon. One did not normally kill from long distance with a sniper rifle chambered with brain-busting ordnance fired with the aid of world-class optics while people stood around and watched you do it.

Robie was and always would be a tactical weapon. Longer-term strategies were the professional domain of others, mostly political types. These folks made good assassins, too. Only instead of bullets, they were basically bribed to enact laws by other folks with more money than was good for them. And they harmed a lot more people than Robie ever could.

He eyed the street four stories below.

Quiet.

Well, that won’t last. Not after I do what I came here to do.

A voice spoke in his ear mic. It was a slew of last-minute intelligence, and a verification of all details of the “execution plan,” which was quite aptly named. Robie absorbed all of it, just as he had so many times in the past. He processed the information, asked a few pertinent questions, and received a standby command. It was all part of the professional equation, all normal, if such things could be in a situation where the end result was someone’s dying violently.

246 kata, diambil dari The Guilty karya David Baldacci.

Berikut ini adalah hasil terjemahan acakadut-ku. T_T

Will Robie mendekam tak ubahnya bayangan di jendela sebuah bangunan kosong, di negara yang saat ini masih bersekutu dengan Amerika Serikat.

Besok belum tentu.

Sejak bertahun silam, telah berulang kali Robie seperti ini, sendirian dalam bangunan tak berpenghuni di negeri antah berantah, mengambil posisi di balik jendela sambil memegang senjata. Seseorang tak sewajarnya membunuh dari jarak jauh dengan senapan penembak jitu dilengkapi dengan peluru pemecah kepala yang ditembakkan dengan bantuan teropong canggih ketika di sekitarnya orang berdiri dan menontonnya.

Robie telah dan akan selalu jadi senjata taktis. Strategi jangka panjang merupakan bidang keahlian orang lain, kebanyakan tipe politis. Mereka juga pembunuh yang baik. Hanya alih-alih dengan peluru, pada dasarnya mereka disuap untuk menjalankan hukum oleh pihak tertentu dengan uang berlimpah yang tak seharusnya mereka dapatkan. Dan mereka mencederai jauh lebih banyak orang daripada yang bisa Robie lakukan.

Pria itu mengawasi jalanan empat lantai di bawahnya.

Lengang.

Tidak sebentar lagi. Setelah kulakukan apa yang harus kulakukan di sini.

Seseorang bicara melalui mikrofon di telinganya. Rentetan rencana intelijen teranyar, dan persetujuan seluruh detail dari rencana eksekusi, yang dinamai dengan sungguh pantas. Robie menangkap semuanya, seperti yang telah kerap ia lakukan sebelumnya. Dia menelaah informasi itu, menanyakan beberapa pertanyaan terkait, dan menerima perintah untuk bersiap. Semuanya bagian dari rutinitas profesi, semuanya normal, jika saja itu bisa mencakup akhir cerita di mana seseorang akan mati terkapar.

Sedangkan ini, adalah hasil terjemahan Mbak Femmy, yang mengasuh blog tersebut. Lihat bedanya? hihi…

Will Robie mendekam serupa bayangan di balik jendela di sebuah gedung terbengkalai, di negara yang saat ini sekutu Amerika Serikat.

Besok itu bisa berubah.

Selama bertahun-tahun, Robie sudah berkali-kali seorang diri di gedung kosong di negeri asing, mengambil posisi taktis di jendela sambil memegang senjata. Saat kita membunuh dari jarak jauh dengan senapan runduk yang berisi peluru penghancur otak yang ditembakkan dengan bantuan alat bidik kelas dunia, tentu tidak ada orang yang luntang lantung menonton kita.

Robie adalah senjata taktis, dan akan selamanya demikian. Strategi jangka panjang itu ranah profesi orang lain, terutama kalangan politikus. Orang-orang semacam ini juga pembunuh yang andal. Bedanya, mereka tidak menggunakan peluru, tetapi kurang-lebih disuap untuk membuat undang-undang oleh kalangan lain lagi yang sudah kebanyakan duit. Dan mereka mencelakai jauh lebih banyak orang daripada yang mampu dilakukan Robie kapan pun.

Dia mengamati jalan yang terletak empat lantai di bawahnya.

Sepi.

Ah, keadaan itu tak akan lama lagi. Pasti berakhir setelah aku melaksanakan tujuanku datang ke sini.

Terdengar suara berbicara pada mikrofon di telinganya. Serentet informasi di saat-saat terakhir, dan verifikasi semua perincian dari “rencana eksekusi”, istilah yang sangat pas. Robie menyerap semuanya, seperti yang telah sering dilakukannya. Dia mencerna informasinya, menanyakan beberapa hal terkait, dan mendapat perintah siaga. Semuanya bagian dari pekerjaan dalam profesi ini, semuanya normal — kalau memang ada yang bisa disebut normal dalam situasi yang akan berujung pada kematian brutal seseorang.

Setiap kalimat dibahas terpisah, jadi silakan langsung meluncur ke blog tersebut untuk memastikan pembahasan tiap kalimat. Percayalah, banyak hal yang baru di sana!

Okay, mari kita baca Latihan 4, yang sungguh njlimet menarik untuk diterjemahkan, hehe. Kalau tidak salah, ini ada filmnya, kan? Hmm, pasti buku yang menarik. Semoga bisa lebih baik dari latihan kali ini!